Langsung ke konten utama

PUSAKA MEMPUSAKAI DALAM HUKUM ISLAM, KOMPILASI HUKUM ISLAM, DAN HUKUM ADAT



MAKALAH

“PUSAKA MEMPUSAKAI DALAM HUKUM ISLAM, KOMPILASI HUKUM ISLAM, DAN HUKUM ADAT”


OLEH :
NAFIZ ZAKY DZALULY


BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Manusia dalam hidupnya mengalami tiga peristiwa yang penting, waktu dilahirkan, waktu kawin, dan waktu meninggal dunia. Pada saat seseorang dilahirkan tumbuhlah tugas baru dalam kehidupan (keluarganya). Demikianlah di dalam artian sosiologis, ia menjadi pengembangan hak dan kewajiban. Kemudian setelah dewasa, ia akan melangsungkan perkawinan yang bertemu dengan lawan jenisnya untuk membangun dan menunaikan dharma baktinya, yaitu kelangsungan keturunan. Selanjutnya, manusia pada akhirnya mengalami kematian dan meninggalkan dunia yang fana ini. Timbullah persoalan setelah orang meninggal dunia, apakah yang terjadi dengan segala sesuatunya yang ditinggalkan.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Pada prinsipnya, kewarisan adalah langkah-langkah penerusan dan pengoperan harta peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya, proses serta langkah-langkah pengalihan tersebut bervariasi. Di Indonesia sendiri persoalan waris mewarisi ini dibahas antara lain dalam hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam, dan hukum adat.
Maka dari itu penulis akan memaparkan makalah yang membahas tentang kewarisan menurut hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam, dan hukum adat.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana pusaka mempusakai menurut hukum Islam ?
2.    Bagaimana pusaka mempusakai menurut Kompilasi Hukum Islam ?
3.    Bagaimana pusaka mempusakai menurut hukum adat ?
C.     TUJUAN PEMBAHASAN
Tujuan pembahasan dari makalah ini adalah agar kita mengetahui pembahasan tentang pusaka mempusakai menurut hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam, dan hukum adat.













BAB II
PEMBAHASAN

A.     PUSAKA MEMPUSAKAI DALAM HUKUM ISLAM
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur masalah mengenai pusaka mempusakai atau waris mewarisi. Dan berikut beberapa pembahasan tentang permasalahan waris dalam hukum Islam.
1.      Rukun Pusaka
Ada tiga macam, yaitu :
a.    Adanya Muwaris, orang yang diwarisi, yaitu si orang yang mati.
b.   Adanya Waris, orang yang menerima pusaka.
c.    Adanya Haqqun Maurus, harta peninggalan, yang menjadi pusaka.
2.      Syarat-Syarat Pusaka
Syarat-syarat pusaka ada empat, yaitu :
a.    Yakin akan kematian yang diwarisi (muwaris).
b.   Yakin akan hidupnya ahli waris sesudah mati muwaris.
c.    Diketahui jalan pertalian di antara keduanya.
d.   Diketahui bagian untuk ahli waris menurut syara’.
3.      Muwaris
Muwaris adalah orang yang diwarisi harta. Sebab-sebab mewarisi ada beberapa sebab, yaitu :
a.    Nasab (keluarga), sebagaimana firman Allah swt dalam QS. An-Nisa ayat 7 :
لِّلرِّجَالِ نَصيِبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاء نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيباً مَّفْرُوضاً
Terjemahannya :
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa : 7)
b.    Mushaharah (perkawinan).
c.    Dengan jalan memerdekakan dari perbudakan (wala’). Sabda Rasulullah Saw :
إِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ اَعْتَقَ (متفق عليه)
“Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah membe-baskan budaknya.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Jika seseorang meninggal dunia sedang ahli warisnya tidak ada, maka harta warisannya (peninggalannya) diserahkan kepada Baitul Mal (Perbendaharaan Negara), untuk umat Islam dengan jalan pusaka.
4.      Ahli Waris
Orang-orang yang mungkin atau boleh mendapat pusaka dari orang yang meninggal dunia ada 25 orang, 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan, yaitu :

a.    Dari pihak laki-laki :
1)   Anak laki-laki dari yang meninggal.
2)   Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) dan seterusnya ke bawah.
3)   Bapak dari yang meninggal.
4)   Bapak dari bapak (datuk) dan seterusnya ke atas.
5)   Saudara laki-laki seibu sebapak.
6)   Saudara laki-laki sebapak.
7)   Saudara laki-laki seibu.
8)   Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak.
9)   Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
10)    Saudara laki-laki dari bapak (paman) seibu sebapak.
11)    Saudara laki-laki dari bapak yang sebapak.
12)    Anak laki-laki dari saudara bapak yang seibu sebapak.
13)    Anak laki-laki dari saudara bapak yang sebapak.
14)    Suami.
15)    Laki-laki yang memerdekakan hamba (walah), sudah tidak ada.
b.   Dari pihak perempuan :
1)   Anak perempuan.
2)   Anak perempuan dari anak laki-laki, dan seterusnya asal pertaliannya tetap laki-laki.
3)   Ibu.
4)   Ibu dari bapak.
5)   Ibu dari ibu terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki.
6)   Saudara perempuan yang seibu sebapak.
7)   Saudara perempuan yang sebapak.
8)   Saudara perempuan yang seibu.
9)   Istri.
10)    Perempuan yang memerdekakan hamba (maulah), sudah tidak ada.
Jika 25 orang dari pihak laki-laki dan perempuan semua ada, yang tetap pasti mendapat hanya salah seorang dari dua suami istri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
Anak yang dalam kandungan ibunya juga mendapat pusaka dari keluarganya yang meninggal dunia, apabila anak itu lahir hidup.
5.      Sebab-Sebab Tidak Mendapat Pusaka
a.    Hamba.
b.   Pembunuh.
c.    Murtad.
6.      Haqqun Maurus
Haqqun maurus ialah harta pusaka yang akan dibagi. Penerima pusaka itu ada dua macam :

a.    Asabah.
Asabah ada tiga macam, yaitu :
1)   Asabah bi nafsihi (dia sendiri menjadi asabah). Misalnya : anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, dan lain-lain.
2)   Asabah bil ghairi (karena orang lain menjadi asabah). Misalnya : anak perempuan menjadi asabah jika bersama anak laki-laki, cucu perempuan menjadi asabah jika bersama cucu laki-laki.
3)   Asabah ma’al ghairi (asabah karena tertarik orang lain). Misalnya : saudara laki-laki seibu sebapak menarik saudaranya yang perempuan.
b.   Fardhu.
Pembagian fardhu ialah pembagian menurut kadar yang tertentu (furudhul muqaddarah), yaitu 1/2 , 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, 1/6.
Pembagian fardhu ini ialah yang tidak termasuk bagian asabah umumnya pihak perempuan.
B.     PUSAKA MEMPUSAKAI DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM
Kompilasi Hukum Islam yang mengatur kewarisan terdiri dari 23 pasal, dari pasal 171 sampai dengan pasal 193. Sekedar perbandingan antara fiqih faraid menurut apa adanya dengan Kompilasi Hukum Islam tersebut dapat dilihat dalam penjelasan berikut :
Pasal 171 tentang Ketentuan Umum. Anak pasal a) menjelaskan tentang Hukum Kewarisan sebagaimana juga terdapat dalam kitab-kitab fiqih dengan rumusan yang berbeda. Anak pasal b) membicarakan tentang pewaris dengan syarat beragama Islam, dan anak pasal c) membicarakan tentang ahli waris yag di samping mensyaratkan adanya hubungan kekerabatan dengan pewaris juga harus beragama Islam. Hal ini serupa dengan yang dibicarakan dalam fiqih sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Anak pasal d) dan e) juga tidak berbeda dengan fiqih. Dengan demikian keseluruhan pasal ini telah sejalan dengan fiqih.
Pasal 172 yang membicarakan identitas keislaman seseorang hanya hal yang bersifat administratif, yang walaupun tidak disinggung dalam fiqih, tetapi tidak menyalahi substansi fiqih itu.
Pasal 173 membicarakan tentang halangan kewarisan yang format dan substansinya sedikit berbeda dengan fiqih, dengan rumusan :
Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
a.    Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
b.    Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Dinyatakannya pembunuh sebagai penghalang kewarisan dalam anak pasal a. telah sejalan dengan fiqih. Namun dijadikannya percobaan pembunuhan, penganiayaan, apalagi memfitnah sebagai halangan, jelas tidak sejalan dengan fiqih madzhab mana pun. Dalam fiqih hanya pembunuhan yang menyebabkan kematian yang dijadikan penghalang kewarisan, itu pun pembunuhan sengaja, sedangkan yang tidak disengaja masih merupakan perdebatan yang berujung pada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Fiqih beranggapan bahwa kewarisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan tidak dapat dicabut kecuali ada dalil yang kuat seperti hadits Nabi Saw. Dicabutnya hak seseorang hanya karena percobaan pembunuhan atau penganiayaan, apalagi memfitnah meskipun ini merupakan kejahatan namun tidak menghilangkan hak yang pasti, apalagi bila pewaris sebelum meninggal telah memberikan maaf. Oleh karena itu, pasal ini masih perlu diperkatakan.
Pasal 174 tentang ahli waris, baik dalam hubungan darah atau perkawinan, telah sejalan dengan fiqih Faraid.
Pasal 175 tentang kewajiban ahli waris terhadap harta sebelum dibagikannya harta tersebut kepada ahli waris telah sejalan dengan fiqih mawaris.
Pasal 176 tentang bagian anak dalam kewarisan, baik dalam keadaan sendiri atau bersama telah sejalan dengan ayat Al-Qur’an dan rumusannya dalam fiqih Faraid.
Pasal 177 tentang bagian ayah telah dirumuskan sebagai berikut :
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ia meninggalkan anak, maka ayah mendapatkan seperenam  bagian.
Walaupun rumusan pasal ini konon telah mengalami perubahan tetapi tidak mengubah secara subtansial. Bahwa ayah menerima seperenam dalam keadaan pewaris ada meninggalkan anak, jelas sesuai dengan Al-Qur’an, maupun rumusannya dalam fiqih. Tetapi menetapkan ayah menerima bagian (baca furudh) sepertiga dalam keadaan tidak ada anak, tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tidak terdapat dalam fiqih mana pun, termasuk Syi’ah. Ayah mungkin mendapat sepertiga tetapi tidak sebagai Furudh. Itu pun dalam kasus tertentu seperti bersama dengan ibu dan suami, dengan cacatan ibu menerima sepertiga harta, sebagaimana yang lazim berlaku dalam madzhab jumhur Ahlu Sunnah. Namun bukan bagian sepertiga untuk ayah yang disebutkan. Kalau Al-Qur’an dan Fiqih yang dijadikan ukuran, pasal ini jelas salah secara subtansial.
Pasal 178 tentang bagian ibu dalam ketiga kemungkinannya dan pasal 179-180 tentang bagian duda dan janda dalam dua kemungkinannya telah sesuai dengan Al-Qur’an dan rumusannya dalam fiqih.
Pasal 181 tentang bagian saudara seibu dan pasal 182 tentang bagian saudara kandung dan seayah dalam segala kemungkinannya telah sejalan dengan Al-Qur’an dan rumusannya.
Pasal 183 tentang usaha perdamaian yang menghasilakan pembagian yang berbeda dari petunjuk namun atas dasar kerelaan bersama, memang dalam kitab-kitab fiqih pada umumnya tidak dijelaskan dalam waktu membahas kewarisan. Meskipun secara formal menyalahi ketentuan fiqih, namun dapat diterima dengan mengunakan pendekatan pemahaman takharuj yang dibenarkan dalam madzhab Hanafi.
Pasal 184 tentang pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa untuk mengurus hak warisnya, meskipun tidak dinyatakan dalam kitab-kitab fiqih faraid, namun karena telah sejalan dengan kehendak Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 5 pasal ini dapat diterima.
Pasal 185 tentang ahli waris pengganti dirumuskan  :
a.       Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tesebut pada pasal 173.
b.      Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Pasal 186 tentang kewarisan anak yang lahir di luar nikah telah sesuai dengan kewarisan anak zina dalam fiqih yang menempatkannya hanya menjadi ahli waris bagi ibunya dan orang yang berkerabat dengan ibu itu.
Pasal 187 tentang pelaksana pembagian warisan, pasal 188 berkenaan dengan pengajuan permintaan untuk pembagian harta warisan, dan pasal 189 berkenaan dengan pewarisan tanah pertanian, walaupun tidak diatur dalam fiqih, namun karena hal-hal ini hanya menyangkut masalah administratif dan sesuai pula dengan prinsip maslahat, pasal-pasal ini dapat diterima.
Pasal 190 tentang hak istri atas bagian gono gini secara langsung tidak menyangkut hak kewarisan dan dalam kedudukan sebagian yang menjadi hak pewaris, tidak menyalahi ketentuan fiqih.
Pasal 191 tentang pewaris yang tidak meninggalkan ahli waris atau ahli warisnya tidak diketahui keadaannya diatur dalam fiqih faraid.
C.     PUSAKA MEMPUSAKAI DALAM HUKUM ADAT
Pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan. Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda, yaitu :
a.    Sistem patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara “kawin jujur” yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya yang meninggal dunia.
b.    Sistem matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak menjadi ahli waris dari garis perempuan atau garis ibu karena anak-anak mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri, contoh sistem ini terdapat pada masyarakat Minangkabau. Namun demikian, bagi masyarakat Minangkabau yang sudah merantau ke luar tanah aslinya, kondisi tersebut sudah banyak berubah.
c.    Sistem parental atau bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar. Artinya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka.
Berdasarkan pada bentuk masyarakat dari sistem keturunan di atas, jelas bagi kita bahwa hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.
Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum waris adat terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang diwariskan, hukum waris adat mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu :
a.    Sistem kewarisan individual, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan, misalnya di Jawa, Batak, Sulawesi, dan lain-lain.
b.    Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif) sebab harta peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris. Contohnya “harta pusaka” di Minangkabau dan “tanah dati” di Semenanjung Hitu Ambon.
c.    Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat ini ada dua macam, yaitu :
1)   Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua atau sulung atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris, misalnya di Lampung.
2)   Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal dari pewaris misalnya pada masyarakat Tanah Semendo di Sumatera Selatan.
Berikut penulis akan menjelaskan secara lebih rinci mengenai tiga sistem kekeluargaan masyarakat adat yang telah disebutkan di atas :
1.      Sistem Kekeluargaan Patrilineal
Dalam masyarakat tertib Patrilineal seperti halnya dalam masyarakat Batak Karo, hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan di luar dari golongan patrilinealnya semula, sesudah mereka itu kawin.
Kenyataan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut :
a.    Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak dapat melanjutkan silsilah (keturunan keluarga).
b.   Dalam rumah tangga, istri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama keluarga (marga) ayah. Istri digolongkan ke dalam keluarga (marga) suaminya.
c.    Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tuanya (ayahnya) sebab ia masuk anggota keluarga suaminya.
d.   Dalam adat, kalimbubu (laki-laki) dianggap anggota keluarga sebagai orang tua (ibu).
e.    Apabila terjadi perceraian, suami istri, maka pemeliharaan anak-anak kelak merupakan ahli waris dari ayahnya baik dalam adat maupun harta benda.
Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum waris adat di tanah patrilineal, terdiri atas :
a.    Anak laki-laki. Yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta kekayaan. Baik harta pencaharian maupun harta pusaka.
b.   Anak angkat. Dalam masyarakat Karo, anak angkat merupakan ahli waris yang kedudukannya sama seperti halnya anak sah, namun anak angkat ini hanya menjadi ahli waris terhadap harta pencaharian atau harta bersama orang tua angkatnya.
c.    Ayah dan ibu serta saudara-saudara sekandung si pewaris.
d.   Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.
e.    Persekutuan adat. Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka harta warisan jatuh kepada persekutuan adat.
Berkaitan dengan hukum waris adat Tanah Karo yang hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris, maka melalui putusan Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 No. 179 K/Sip/1961 telah terjadi upaya ke arah proses persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria di Tanah Karo, meskipun di sana-sini putusan Mahkamah Agung ini banyak mendapat pertentangan, namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang justru menyetujui hal tersebut.

2.      Sistem Kekeluargaan Matrilineal
Dalam sistem matrilineal, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi yaitu harta yang turun temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yaitu harta yang turun dari satu generasi. Jika yang meninggal itu seorang laki-laki, maka anak-anaknya serta jandanya tidak menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi, sedang yang menjadi ahli warisnya adalah kemenakannya.
Harta kaum dalam masyarakat matrilineal Minangkabau yang akan diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak terdiri atas :
a.    Harta pusaka tinggi.
b.   Harta pusaka rendah.
c.    Harta pencaharian. Yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko.
d.   Harta suarang. Yaitu seluruh harta benda yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami istri selama masa perkawinan.
Menurut hukum matrilineal Minangkabau, ahli waris dapat dibedakan antara :
a.    Waris bertali darah. Yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah.
b.   Waris bertali adat. Yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris bertali darah.


3.      Sistem Kekeluargaan Parental/Bilateral
Berbeda dengan dua sistem kekeluargaan sebelumnya, sistem kekeluargaan parental ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan.
Harta warisan, yaitu sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia terdiri atas :
a.    Harta asal. Yaitu harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan dengan cara pewarisan, hibah, hadiah, turun-temurun.
b.   Harta bersama.
Ahli waris dalam hukum waris adat parental terdiri atas :
a.    Sedarah dan tidak sedarah. Ahli waris sedarah terdiri atas anak kandung, orang tua, saudara, dan cucu. Sedangkan ahli waris yang tidak sedarah yaitu anak angkat, janda atau duda.
b.   Kepunahan atau Nunggul Pinang. Ada kemungkinan seorang pewaris tidak mempunyai ahli waris atau lazim disebut nunggul pinang.Maka barang atau harta peninggalan akan diserahkan kepada desa, selanjutnya desalah yang akan menentukan pemanfaatan atau pembagian harta kekayaan tersebut.
Seorang ahli waris juga dapat kehilangan hak warisnya karena alasan berikut :
a.    Ahli waris atau para ahli waris membunuh pewaris.
b.   Ahli waris atau para ahli waris berpindah agama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ASHABAH

PEMBAHASAN Pengertian ‘Ashabah Kata ‘ashabah dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak Bapak. Ashabah menurut istilah para fuqaha’ ialah, ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian didalam Al-Quran dan As-sunnah. Sebagai contoh Anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara kandung seayah, dan paman (saudara kandung ayah).   Pengertian ‘ashabah yang sangat masyhur dikalangan ulama faraid ialah, orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.  Dalil Hak Waris para ‘Ashabah Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris, kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah : (… وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَر...