MAKALAH
“PUSAKA MEMPUSAKAI DALAM HUKUM ISLAM, KOMPILASI HUKUM ISLAM, DAN
HUKUM ADAT”
OLEH :
NAFIZ ZAKY DZALULY
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Manusia dalam
hidupnya mengalami tiga peristiwa yang penting, waktu dilahirkan, waktu kawin,
dan waktu meninggal dunia. Pada saat seseorang dilahirkan tumbuhlah tugas baru
dalam kehidupan (keluarganya). Demikianlah di dalam artian sosiologis, ia
menjadi pengembangan hak dan kewajiban. Kemudian setelah dewasa, ia akan
melangsungkan perkawinan yang bertemu dengan lawan jenisnya untuk membangun dan
menunaikan dharma baktinya, yaitu kelangsungan keturunan. Selanjutnya, manusia
pada akhirnya mengalami kematian dan meninggalkan dunia yang fana ini.
Timbullah persoalan setelah orang meninggal dunia, apakah yang terjadi dengan
segala sesuatunya yang ditinggalkan.
Hukum waris
merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan
bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris erat kaitannya dengan
ruang lingkup kehidupan manusia. Pada prinsipnya, kewarisan adalah langkah-langkah
penerusan dan pengoperan harta peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. Akan tetapi di dalam
kenyataannya, proses serta langkah-langkah pengalihan tersebut bervariasi. Di
Indonesia sendiri persoalan waris mewarisi ini dibahas antara lain dalam hukum
Islam, Kompilasi Hukum Islam, dan hukum adat.
Maka dari itu
penulis akan memaparkan makalah yang membahas tentang kewarisan menurut hukum
Islam, Kompilasi Hukum Islam, dan hukum adat.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
pusaka mempusakai menurut hukum Islam ?
2.
Bagaimana
pusaka mempusakai menurut Kompilasi Hukum Islam ?
3.
Bagaimana
pusaka mempusakai menurut hukum adat ?
C.
TUJUAN PEMBAHASAN
Tujuan
pembahasan dari makalah ini adalah agar kita mengetahui pembahasan tentang
pusaka mempusakai menurut hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam, dan hukum adat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PUSAKA MEMPUSAKAI DALAM HUKUM ISLAM
Islam sebagai
agama yang sempurna telah mengatur masalah mengenai pusaka mempusakai atau
waris mewarisi. Dan berikut beberapa pembahasan tentang permasalahan waris
dalam hukum Islam.
1.
Rukun
Pusaka
Ada tiga macam,
yaitu :
a.
Adanya
Muwaris, orang yang diwarisi, yaitu si orang yang mati.
b.
Adanya
Waris, orang yang menerima pusaka.
c.
Adanya
Haqqun Maurus, harta peninggalan, yang menjadi pusaka.
2.
Syarat-Syarat
Pusaka
Syarat-syarat
pusaka ada empat, yaitu :
a.
Yakin
akan kematian yang diwarisi (muwaris).
b.
Yakin
akan hidupnya ahli waris sesudah mati muwaris.
c.
Diketahui
jalan pertalian di antara keduanya.
d.
Diketahui
bagian untuk ahli waris menurut syara’.
3.
Muwaris
Muwaris adalah
orang yang diwarisi harta. Sebab-sebab mewarisi ada beberapa sebab, yaitu :
a.
Nasab
(keluarga), sebagaimana firman Allah swt dalam QS. An-Nisa ayat 7 :
لِّلرِّجَالِ نَصيِبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاء نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ
مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيباً مَّفْرُوضاً
Terjemahannya :
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang
tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa :
7)
b. Mushaharah (perkawinan).
c.
Dengan
jalan memerdekakan dari perbudakan (wala’). Sabda Rasulullah Saw :
إِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ اَعْتَقَ (متفق عليه)
“Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah
membe-baskan budaknya.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Jika seseorang
meninggal dunia sedang ahli warisnya tidak ada, maka harta warisannya
(peninggalannya) diserahkan kepada Baitul Mal (Perbendaharaan Negara), untuk
umat Islam dengan jalan pusaka.
4.
Ahli
Waris
Orang-orang
yang mungkin atau boleh mendapat pusaka dari orang yang meninggal dunia ada 25
orang, 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan, yaitu :
a.
Dari
pihak laki-laki :
1)
Anak
laki-laki dari yang meninggal.
2)
Anak
laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) dan seterusnya ke bawah.
3)
Bapak
dari yang meninggal.
4)
Bapak
dari bapak (datuk) dan seterusnya ke atas.
5)
Saudara
laki-laki seibu sebapak.
6)
Saudara
laki-laki sebapak.
7)
Saudara
laki-laki seibu.
8)
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak.
9)
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
10)
Saudara
laki-laki dari bapak (paman) seibu sebapak.
11)
Saudara
laki-laki dari bapak yang sebapak.
12)
Anak
laki-laki dari saudara bapak yang seibu sebapak.
13)
Anak
laki-laki dari saudara bapak yang sebapak.
14)
Suami.
15)
Laki-laki
yang memerdekakan hamba (walah), sudah tidak ada.
b.
Dari
pihak perempuan :
1)
Anak
perempuan.
2)
Anak
perempuan dari anak laki-laki, dan seterusnya asal pertaliannya tetap
laki-laki.
3)
Ibu.
4)
Ibu
dari bapak.
5)
Ibu
dari ibu terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki.
6)
Saudara
perempuan yang seibu sebapak.
7)
Saudara
perempuan yang sebapak.
8)
Saudara
perempuan yang seibu.
9)
Istri.
10)
Perempuan
yang memerdekakan hamba (maulah), sudah tidak ada.
Jika 25 orang
dari pihak laki-laki dan perempuan semua ada, yang tetap pasti mendapat hanya
salah seorang dari dua suami istri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak
perempuan.
Anak yang dalam
kandungan ibunya juga mendapat pusaka dari keluarganya yang meninggal dunia,
apabila anak itu lahir hidup.
5.
Sebab-Sebab
Tidak Mendapat Pusaka
a.
Hamba.
b.
Pembunuh.
c.
Murtad.
6.
Haqqun
Maurus
Haqqun maurus
ialah harta pusaka yang akan dibagi. Penerima pusaka itu ada dua macam :
a.
Asabah.
Asabah ada tiga
macam, yaitu :
1)
Asabah
bi nafsihi (dia sendiri menjadi asabah). Misalnya : anak laki-laki, cucu laki-laki,
bapak, dan lain-lain.
2)
Asabah
bil ghairi (karena orang lain menjadi asabah). Misalnya : anak perempuan
menjadi asabah jika bersama anak laki-laki, cucu perempuan menjadi asabah jika
bersama cucu laki-laki.
3)
Asabah
ma’al ghairi (asabah karena tertarik orang lain). Misalnya : saudara laki-laki
seibu sebapak menarik saudaranya yang perempuan.
b.
Fardhu.
Pembagian
fardhu ialah pembagian menurut kadar yang tertentu (furudhul muqaddarah), yaitu
1/2 , 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, 1/6.
Pembagian
fardhu ini ialah yang tidak termasuk bagian asabah umumnya pihak perempuan.
B.
PUSAKA MEMPUSAKAI DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM
Kompilasi Hukum
Islam yang mengatur kewarisan terdiri dari 23 pasal, dari pasal 171 sampai
dengan pasal 193. Sekedar perbandingan antara fiqih faraid menurut apa adanya
dengan Kompilasi Hukum Islam tersebut dapat dilihat dalam penjelasan berikut :
Pasal 171
tentang Ketentuan Umum. Anak pasal a) menjelaskan tentang Hukum Kewarisan
sebagaimana juga terdapat dalam kitab-kitab fiqih dengan rumusan yang berbeda.
Anak pasal b) membicarakan tentang pewaris dengan syarat beragama Islam, dan
anak pasal c) membicarakan tentang ahli waris yag di samping mensyaratkan
adanya hubungan kekerabatan dengan pewaris juga harus beragama Islam. Hal ini
serupa dengan yang dibicarakan dalam fiqih sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Anak pasal d) dan e) juga tidak berbeda dengan fiqih. Dengan demikian
keseluruhan pasal ini telah sejalan dengan fiqih.
Pasal 172 yang
membicarakan identitas keislaman seseorang hanya hal yang bersifat
administratif, yang walaupun tidak disinggung dalam fiqih, tetapi tidak
menyalahi substansi fiqih itu.
Pasal 173
membicarakan tentang halangan kewarisan yang format dan substansinya sedikit
berbeda dengan fiqih, dengan rumusan :
Seseorang
terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
a.
Dipersalahkan
telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
b.
Dipersalahkan
secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Dinyatakannya
pembunuh sebagai penghalang kewarisan dalam anak pasal a. telah sejalan dengan
fiqih. Namun dijadikannya percobaan pembunuhan, penganiayaan, apalagi memfitnah
sebagai halangan, jelas tidak sejalan dengan fiqih madzhab mana pun. Dalam
fiqih hanya pembunuhan yang menyebabkan kematian yang dijadikan penghalang
kewarisan, itu pun pembunuhan sengaja, sedangkan yang tidak disengaja masih
merupakan perdebatan yang berujung pada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Fiqih beranggapan bahwa kewarisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan
dalam Al-Qur’an dan tidak dapat dicabut kecuali ada dalil yang kuat seperti
hadits Nabi Saw. Dicabutnya hak seseorang hanya karena percobaan pembunuhan
atau penganiayaan, apalagi memfitnah meskipun ini merupakan kejahatan namun
tidak menghilangkan hak yang pasti, apalagi bila pewaris sebelum meninggal
telah memberikan maaf. Oleh karena itu, pasal ini masih perlu diperkatakan.
Pasal 174
tentang ahli waris, baik dalam hubungan darah atau perkawinan, telah sejalan
dengan fiqih Faraid.
Pasal 175
tentang kewajiban ahli waris terhadap harta sebelum dibagikannya harta tersebut
kepada ahli waris telah sejalan dengan fiqih mawaris.
Pasal 176
tentang bagian anak dalam kewarisan, baik dalam keadaan sendiri atau bersama
telah sejalan dengan ayat Al-Qur’an dan rumusannya dalam fiqih Faraid.
Pasal 177
tentang bagian ayah telah dirumuskan sebagai berikut :
Ayah mendapat sepertiga
bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ia meninggalkan anak, maka
ayah mendapatkan seperenam bagian.
Walaupun
rumusan pasal ini konon telah mengalami perubahan tetapi tidak mengubah secara
subtansial. Bahwa ayah menerima seperenam dalam keadaan pewaris ada
meninggalkan anak, jelas sesuai dengan Al-Qur’an, maupun rumusannya dalam
fiqih. Tetapi menetapkan ayah menerima bagian (baca furudh) sepertiga
dalam keadaan tidak ada anak, tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tidak terdapat
dalam fiqih mana pun, termasuk Syi’ah. Ayah mungkin mendapat sepertiga tetapi
tidak sebagai Furudh. Itu pun dalam kasus tertentu seperti bersama
dengan ibu dan suami, dengan cacatan ibu menerima sepertiga harta, sebagaimana
yang lazim berlaku dalam madzhab jumhur Ahlu Sunnah. Namun bukan bagian
sepertiga untuk ayah yang disebutkan. Kalau Al-Qur’an dan Fiqih yang dijadikan
ukuran, pasal ini jelas salah secara subtansial.
Pasal 178
tentang bagian ibu dalam ketiga kemungkinannya dan pasal 179-180 tentang bagian
duda dan janda dalam dua kemungkinannya telah sesuai dengan Al-Qur’an dan
rumusannya dalam fiqih.
Pasal 181
tentang bagian saudara seibu dan pasal 182 tentang bagian saudara kandung dan
seayah dalam segala kemungkinannya telah sejalan dengan Al-Qur’an dan
rumusannya.
Pasal 183
tentang usaha perdamaian yang menghasilakan pembagian yang berbeda dari
petunjuk namun atas dasar kerelaan bersama, memang dalam kitab-kitab fiqih pada
umumnya tidak dijelaskan dalam waktu membahas kewarisan. Meskipun secara formal
menyalahi ketentuan fiqih, namun dapat diterima dengan mengunakan pendekatan
pemahaman takharuj yang dibenarkan dalam madzhab Hanafi.
Pasal 184
tentang pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa untuk mengurus hak
warisnya, meskipun tidak dinyatakan dalam kitab-kitab fiqih faraid, namun
karena telah sejalan dengan kehendak Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 5 pasal ini
dapat diterima.
Pasal 185
tentang ahli waris pengganti dirumuskan
:
a.
Ahli
waris yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tesebut pada pasal 173.
b.
Bagian
bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.
Pasal 186
tentang kewarisan anak yang lahir di luar nikah telah sesuai dengan kewarisan
anak zina dalam fiqih yang menempatkannya hanya menjadi ahli waris bagi ibunya
dan orang yang berkerabat dengan ibu itu.
Pasal 187
tentang pelaksana pembagian warisan, pasal 188 berkenaan dengan pengajuan
permintaan untuk pembagian harta warisan, dan pasal 189 berkenaan dengan
pewarisan tanah pertanian, walaupun tidak diatur dalam fiqih, namun karena
hal-hal ini hanya menyangkut masalah administratif dan sesuai pula dengan
prinsip maslahat, pasal-pasal ini dapat diterima.
Pasal 190
tentang hak istri atas bagian gono gini secara langsung tidak menyangkut hak
kewarisan dan dalam kedudukan sebagian yang menjadi hak pewaris, tidak
menyalahi ketentuan fiqih.
Pasal 191
tentang pewaris yang tidak meninggalkan ahli waris atau ahli warisnya tidak
diketahui keadaannya diatur dalam fiqih faraid.
C.
PUSAKA MEMPUSAKAI DALAM HUKUM ADAT
Pokok pangkal
uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat
kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan. Setiap sistem
keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam
hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda, yaitu :
a.
Sistem
patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek
moyang laki-laki. Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki
dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak. Yang
menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin
dengan cara “kawin jujur” yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak
suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya yang meninggal
dunia.
b.
Sistem
matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek
moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak
menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak menjadi ahli waris dari garis
perempuan atau garis ibu karena anak-anak mereka merupakan bagian dari keluarga
ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri, contoh
sistem ini terdapat pada masyarakat Minangkabau. Namun demikian, bagi
masyarakat Minangkabau yang sudah merantau ke luar tanah aslinya, kondisi
tersebut sudah banyak berubah.
c.
Sistem
parental atau bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua
sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan
anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar. Artinya, baik
anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta
peninggalan orang tua mereka.
Berdasarkan
pada bentuk masyarakat dari sistem keturunan di atas, jelas bagi kita bahwa
hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan
yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.
Di samping
sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum waris
adat terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang
diwariskan, hukum waris adat mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu :
a.
Sistem
kewarisan individual, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli
waris mewarisi secara perorangan, misalnya di Jawa, Batak, Sulawesi, dan
lain-lain.
b.
Sistem
kewarisan kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi
harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif) sebab harta peninggalan yang
diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli
waris. Contohnya “harta pusaka” di Minangkabau dan “tanah dati” di Semenanjung
Hitu Ambon.
c.
Sistem
kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta
peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat ini ada
dua macam, yaitu :
1)
Mayorat
laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua atau sulung atau keturunan
laki-laki merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris, misalnya di Lampung.
2)
Mayorat
perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal
dari pewaris misalnya pada masyarakat Tanah Semendo di Sumatera Selatan.
Berikut penulis
akan menjelaskan secara lebih rinci mengenai tiga sistem kekeluargaan masyarakat
adat yang telah disebutkan di atas :
1.
Sistem
Kekeluargaan Patrilineal
Dalam
masyarakat tertib Patrilineal seperti halnya dalam masyarakat Batak Karo,
hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan di luar
dari golongan patrilinealnya semula, sesudah mereka itu kawin.
Kenyataan ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut :
a.
Silsilah
keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak dapat melanjutkan
silsilah (keturunan keluarga).
b.
Dalam
rumah tangga, istri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama keluarga
(marga) ayah. Istri digolongkan ke dalam keluarga (marga) suaminya.
c.
Dalam
adat, wanita tidak dapat mewakili orang tuanya (ayahnya) sebab ia masuk anggota
keluarga suaminya.
d.
Dalam
adat, kalimbubu (laki-laki) dianggap anggota keluarga sebagai orang tua (ibu).
e.
Apabila
terjadi perceraian, suami istri, maka pemeliharaan anak-anak kelak merupakan
ahli waris dari ayahnya baik dalam adat maupun harta benda.
Ahli waris atau
para ahli waris dalam sistem hukum waris adat di tanah patrilineal, terdiri
atas :
a.
Anak
laki-laki. Yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh
harta kekayaan. Baik harta pencaharian maupun harta pusaka.
b.
Anak
angkat. Dalam masyarakat Karo, anak angkat merupakan ahli waris yang
kedudukannya sama seperti halnya anak sah, namun anak angkat ini hanya menjadi
ahli waris terhadap harta pencaharian atau harta bersama orang tua angkatnya.
c.
Ayah
dan ibu serta saudara-saudara sekandung si pewaris.
d.
Keluarga
terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.
e.
Persekutuan
adat. Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada,
maka harta warisan jatuh kepada persekutuan adat.
Berkaitan
dengan hukum waris adat Tanah Karo yang hanya mengakui anak laki-laki sebagai
ahli waris, maka melalui putusan Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 No. 179
K/Sip/1961 telah terjadi upaya ke arah proses persamaan hak antara kaum wanita
dan kaum pria di Tanah Karo, meskipun di sana-sini putusan Mahkamah Agung ini
banyak mendapat pertentangan, namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang justru
menyetujui hal tersebut.
2.
Sistem
Kekeluargaan Matrilineal
Dalam sistem
matrilineal, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya
sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi yaitu harta yang turun temurun dari
beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yaitu harta yang turun dari satu
generasi. Jika yang meninggal itu seorang laki-laki, maka anak-anaknya serta
jandanya tidak menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi, sedang yang
menjadi ahli warisnya adalah kemenakannya.
Harta kaum
dalam masyarakat matrilineal Minangkabau yang akan diwariskan kepada ahli
warisnya yang berhak terdiri atas :
a.
Harta
pusaka tinggi.
b.
Harta
pusaka rendah.
c.
Harta
pencaharian. Yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko.
d.
Harta
suarang. Yaitu seluruh harta benda yang diperoleh secara bersama-sama oleh
suami istri selama masa perkawinan.
Menurut hukum
matrilineal Minangkabau, ahli waris dapat dibedakan antara :
a.
Waris
bertali darah. Yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah.
b.
Waris
bertali adat. Yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh hak
warisnya bila tidak ada sama sekali waris bertali darah.
3.
Sistem
Kekeluargaan Parental/Bilateral
Berbeda dengan
dua sistem kekeluargaan sebelumnya, sistem kekeluargaan parental ini memiliki
ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris adalah anak
laki-laki maupun anak perempuan.
Harta warisan,
yaitu sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal
dunia terdiri atas :
a.
Harta
asal. Yaitu harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh sebelum
maupun selama perkawinan dengan cara pewarisan, hibah, hadiah, turun-temurun.
b.
Harta
bersama.
Ahli waris
dalam hukum waris adat parental terdiri atas :
a.
Sedarah
dan tidak sedarah. Ahli waris sedarah terdiri atas anak kandung, orang tua,
saudara, dan cucu. Sedangkan ahli waris yang tidak sedarah yaitu anak angkat,
janda atau duda.
b.
Kepunahan
atau Nunggul Pinang. Ada kemungkinan seorang pewaris tidak mempunyai
ahli waris atau lazim disebut nunggul pinang.Maka barang atau harta
peninggalan akan diserahkan kepada desa, selanjutnya desalah yang akan
menentukan pemanfaatan atau pembagian harta kekayaan tersebut.
Seorang ahli
waris juga dapat kehilangan hak warisnya karena alasan berikut :
a.
Ahli
waris atau para ahli waris membunuh pewaris.
b.
Ahli
waris atau para ahli waris berpindah agama.
Komentar
Posting Komentar