PEMBAHASAN
Pengertian ‘Ashabah
Kata ‘ashabah dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak Bapak. Ashabah menurut istilah para fuqaha’ ialah, ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian didalam Al-Quran dan As-sunnah. Sebagai contoh Anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara kandung seayah, dan paman (saudara kandung ayah).
Pengertian ‘ashabah yang sangat masyhur dikalangan ulama faraid ialah, orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
Dalil Hak Waris para ‘Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris, kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah :
(… وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُث…
Artinya:
…Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam (1/6) dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga (1/3)… (Q.S an-Nisa’:11)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (Ibu dan Bapak) masing-masing mendapatkan 1/6 apabila mempunyai keturunan. Tetapi apabila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua. Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian 1/3. Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan berap bagian Ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian Ibu, 2/3 nya menjadi hak Ayah. Dengan demikian, penerimaan Ayah, disebabkan ia sebagai ‘ashabah.
Dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah SAW yang Artinya:
“Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama” (H.R. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari ‘ashabah.
Jenis-jenis ‘Ashabah
‘Ashabah-nasabiyah itu mempunyai 3 jenis yaitu:
‘Ashabah-binnafsi (dengan sendirinya)
‘Ashabah bil-ghair (bersama orang lain)
‘Ashabah ma’al-ghair (karena orang lain)
‘Ashabah bin Nafsi
Yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:
Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.
Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakek dan seterusnya.
Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, nmun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk ‘ashabah disebabkan mereka termasuk ashabul furudh.
Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah ‘ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutannya diatas. arah anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.
Yang dimaksud dengan ‘ashabah binnafsi ialah kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan si mati tanpa diselingi oleh orang perempuan. Ketentuan ini dapat mengandung dua pengertian yaitu, bahwa antara mereka dengan si mati, dan terdapat perantara, tetapi perantaranya bukan orang perempuan. Seperti cucu laki-laki, pancar laki-laki, ayahnya ayah, saudara sekandung dan saudara seayah. Jika orang yang menjadi perntara tersebut perempuan, seperti cucu-cucu laki-laki pancar perempuan, ayahna ibu dan saudara tunggal ibu, maka mereka bukan ‘ashabahi-binnafsi, tetapinkedua orang yang pertama sebagai dzawil arkham dan seorang yang terakhir sebagai ashabul-furudh.
Demikian juga bukan termasuk ‘ashabah binnafsi, kendatipun perantaranya adalah alaki-laki, bila kerabat yang dipertalikan nasabnya dengan si mati tersebut adalah kerabat perempuan, seperti cucu perempuan pancar laki-laki atau saudari sekandung atau tunggal ayah.
Kelompok-kelompok ‘Ashabah binnafsi
‘Ashabah binnafsi itu ada 4 kelompok yang diutamakan satu sama lain menurut urutan berikut:
Cabang (far’u) si mati, yakni anak laki-laki dan cucu laki-laki betapapun jauh menurunnya.
Pokok (ushul) si mati, yakni ayah dan kakek betapapun jauh mendakinya.
Kerabat menyamping (hawasyi) si mati yang dekat, yakni keturunan dari ayah si mati. Seperti saudara-saudara si mati dan ank laki-laki mereka betapapun rendah menurunnya.
Kerabat menyamping yang jauh, yakni keturunan dari kakek si mati betapa tinggi mendakinya. Seperti ‘amm-‘amm (saudara laki-laki ayah) si mati dan ank laki-laki mereka, betapa rendah menurunnya, ‘amm-‘amm kakek si mati dan anak laki-laki mereka betapa jauh menurunnya.
Kelompok-kelompok ini disebut dengan “jihatul-‘ushubah binnafsi”
Adapun bila para ashabah binnafsi lebih dari satu orang, maka cara penarjihannya (pengunggulannya) sebagai berikut:
1). Penarjihan dari segi arah
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa ‘ashabah bin nafs, maka penarjihannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dibandingkan yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada, atau akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada ashabul furudh bagian masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anaka laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak apabila anak tidak ada. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah dan saudara kandung. Dalamkeadaan demikian, yang menjadi ‘ashabah adalah anak laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan dri arah yang lain. Sedangkan ayah termasuk ashabul furudh dikarenakan mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki. Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan waris dikarenakan arahnya lebih jauh.
2). Penarjihan secara derajat
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa orang ‘ashabah bin nafs, kemudian mereka pun dalam satu arah, maka penarjihannya melihat derajat mereka, yaitu siapakah derajat mereka yang paling dekat dengan pewaris. Sebagai contoh, seseorang wafat dan menigglkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Dalam hal ini hak warisnya secara ‘ashabah diberikan kepada anak, sedangkan cucu tifdak mendapatkan bagian apapun. Sebab anak lebih dekat kepada pewaris dibandingkan cucu laki-laki.
3). Penarjihan menurut kuatnya kekerabatan
Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak ‘ashabah bin nafs yang sama dalam arah dan derajatnya, maka penarjhannya dengan melihat manakah diantara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh, saudara kandung lebih kuat daripada seayah, paman kandung lebih kuat daripada paman seayah, anak dari saudara kandung leebih kuat dari anak saudara seayah, dan seterusnya.
‘Ashabah bil-ghair
‘Ashabah bil-ghair adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadikan ‘ashabah dan untuk bersama-sama menerima ‘ushubah. ‘Ashabah bil-ghair itu ada 4 orang wanita yang fardh, mereka 1/2 bila tunggal, dan 2/3 bila lebih dari seorang. Mereka itu ialah:
Anak perempuan kandung
Cucu perempuan pancar laki-laki
Saudari sekandung
Saudari tunggal ayah
Apabila salah seorang dari perempuan-perempuan tersebut bersama-sama dengan seorang mu’ashib binnafsi yang sama derajat dan kekuatan kerabatnya, ia menjadi ashabah bil-ghair (bersama dengaan orang lain).ia bersama-sama menerima sisa harta peninggalan dari ashabul furudh, dengan ketentuan orang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian orang perempuan.
Orang laki-laki yang menjadi mu’ashibnya:
Anak laki laki kandung
Anak laki-laki pamannya
Saudara kandung
Saudara seayah
Kakek
Syarat-syarat orang perempuan menjadi ashabah bil-ghair:
a).Perempuan tersebut hendaknya tergolong ahli waris ashabul furudh.
b).Adanya persamaan jihat antara orang perempuan ashabul furudh dengan mu’ashibnya.
c).Adanya persamaan derajat antara orang perempuan ashabul furudh dengan mu’ashibnya.
d).Adanya persamaan kekuatan kerabat antara perempuan ashabul furudh dengan mu’ashibnya.
‘Ashabah Ma’al-Ghair
Ialah setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadikan ‘ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima ‘ushubah. Mu’ashib (orag yang menjadikan ‘ashabahnya) tetap menerima bagian menurut fardhnya sendiri. Ashabah ma’al-ghair itu hanya berjumlah dua orang dari ahli waris ashabul furudh. Mereka ialah Saudari kandung dan Saudari tunggal ayah. Kedua orang tersebuut dapat menjadi ‘ashabah ma’al-ghair dengan syarat:
Berdampingan dengan seorang atau beberapa orang, anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki sampai betapapun jauh menurunnya.
Tidak berdapingan dengan saudaranya yng menjadi mu’ashibnya.
Dasar hukum pusaka ‘ashabah ma’al-ghair:
Dalil yang dijadikan dasar hukum pusaka ‘ashabah ma’al-ghair salah satunya yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh Hudzail bin Syarahbil yang menjelskan putusan Ibnu Mas’ud ra. dikala dikonprontasikan dengan pendaapat Abu Musa dalam masalah seorang mati meninggalka anak perempuan, cucu perempun pancar laki-laki dan saudari. Kata Ibnu Mas’ud ra. yang artinya:
“Aku putuskan masalah itu sesuai dengan putusan Nabi Muhammad SAW. untuk anak perempuan separuh, untuk cucu perempuan pancar laki-laki seperenam sebagai pelengkap dua pertiga dan sisanya untuk saudari.”
Perbedaan ‘ashabah bil-ghair dan ‘ashabh ma’al-ghair
Dari segi mu’ashibnya
Mu’ashib ‘ashabah bil-ghair adalah para ‘ashabah binnafsi. Seperti anak laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki betapa rendah menurunnya dan saudara sekandung atau seayah. Sedang mu’ashib ‘ashabah ma’al-ghair ialah perempuan-perempuan ahli waris ashbul furudh. Seperti anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki.
Dari segi penerimaan pusaka
Pada ‘ashabah bil-ghair baik orang yang diashabahkan maupun mu’ashibnya bersama-sama menerima ‘ashabah dari ashabul furudh, atau seluruh harta peninggalan bila seluruh ahli waris hanya ‘ashabah saja, dengan ketentuan yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan. Sedangkan pada ‘ashabah ma’al-ghair, mu’ashibnya tidak turut menerima ‘ashabah. Ia hanya diminta untuk mengashabhkan saja.
Daftar pustaka
Rohman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung, PT. AlMa’arif Bandung, 1975
Sarwat, Ahmad, Fiqh Mawaris,t.t, DU CENTER, t.h
Ali As Shabuni, Muhammad, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta, Gema Insani, 1995
Komentar
Posting Komentar